HIKAYAT SEPATU BUTUT
Sepatu itu aku beli di Jakarta, beli tak beli kata orang, daripada tak belanja. Aku bawa ke daerahku. Tapi ternyata sepatu itu menjadi favorit ku. Setiap hari ku pakai, untuk bekerja, jalan pagi, kemana mana ku pakai. Nyaman sekali digunakan, ringan, lembut dan tidak slip. Memamg ada masa masa dia tidak kupakai, karena ada temannya yang lain, maka ia kuparkir di rak sepatu.
Sampailah saatnya ketika aku mau berangkat Umroh. Sepatu mana gerangan yang akan menemaniku. Kutatap satu persatu sepatu sepatuku. Entah mengapa pilihanku jatuh pada sepatu warna biru itu, padahal yang lain banyak yg lebih bagus dan kuat. Ada semacam aura dia minta ikut. Aku ragu dia akan kuat menemaniku, karena sudah butut, walau nyaman dipakai. Akhirnya aku pilih sepatu biru itu. Dan akupun berangkat Umroh. Selama perjalanan ia senantiasa menemaniku. Mulai dari kampungku, transit Kuala Lumpur terus Jeddah, Mekah dan Medinah. Dari hotel Anjum bolak balik ke Masjidil Haram ia kupakai, saat Tawaf umrah ia kumasukkan dalam plastik. Saat Sa'i kupakai juga. Bahkan saat Tawaf Sunat dilantai atas ia sangat membantu. Di Medinah pun demikian antara hotel Concorde dan mesjid Nabawi sepatu butut ini selalu setia mendampingi.
Sampailah suatu hari aku merasa telapaknya sudah mulai agak licin, terutama bila berjalan di lantai mesjid Nabawi yang mengkilat. Ketika melewati toko toko sepulang sholat Isya di Nabawi, beberapa toko kulihat menjual sendal dan sepatu. Terniat dihati membeli yang baru, yang lebih kuat dan bagus. Aku sempat memilih2 dan hendak membelinya. Ketika aku melihat pada sepatu di kaki ku. Ada rasa tak tega menggantikannya dengan yang baru. Aku menatapnya lama. Ia pun seakan menatapku menghiba, seakan berkata ia tak ingin ditinggalkan. Ada aura sedih terpancar ketika aku menatap sepatu butut itu. Akupun menjadi ragu. Dalam hati aku bertanya, benarkah aku akan mengganti sepatu yang telah berjasa menemaniku Tawaf, Sa'i dan Ziarah di Mekah dan Medinah ini. Ia yang dengan setia menemani proses 'pencerahan' diriku, saat aku berdialog dengan Tuhanku. Akankah kuganti dengan yang baru, dan kutinggalkan ia di Medinah ini, lalu diambil oleh pemungut sampah dan dimasukkannya kedalam bak sampah dan tak tau lagi nasibnya setelah itu?. Tegakah aku meninggalkan sepatu butut yang telah berjasa ini begitu saja.
Tidak, tidak. Takkan setega itu aku. Sepatu ini harus tetap menemaniku sampai kembali pulang ke kampungku. Biarlah ia akan mengukir sendiri prestasinya sebagai pahlawan, menghantarkan tuannya pada proses 'pencerahan'. Biarlah ia dikampung mengakhiri pengabdiannya sebagai pahlawan, bukan sebagai prajurit yang terbuang.
Dan aku, sipetualang, lebih mencintai kesetiaan daripada kemegahan. (ACU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar